A. Hadis
Tentang ‘Ariyah
Abu Dawud dan at-Turmudzi meriwayatkan
hadits yang bersumber dari Abu Umamah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda dalam
khutbah haji wada
’الْعَارِيَة
مُؤَدَّاةُ
Artinya:
“Ariyah itu (harus) dikembalikan.”
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
B. Arti
kata
الْعَارِيَة:
Ariyah
مُؤَدَّاةُ : Dikembalikan
C. Isi
kandungan hadis
1. Sesuatu
yang dipinjam itu harus dikembalikan.
D. Pengertian
‘Ariyah
‘Ariyah menurut etimologi diambil dari kata’Ara yang berarti datang dan pergi.
Menurut sebagian pendapat ‘Ariyah berasal dari kata at-Ta’aawuru, yang berarti saling menukar dan mengganti, yakni
dalam tradisi pinjam meminjam.
Menurut terminologi syara’ ulama fiqih
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
1. Menurut
ulama Hanafiayah , ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai
dengan imbalan.
2. Menurut
Syafi’iyah dan Hambaliyah, ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat
dari orang yang berhak memberi secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan
yang diperbolehkan sedangkan bendanya masih utuh.
Jadi dapat disimpulkan ‘ariyah
memberikan manfaat suatu barang, sehingga orang tersebut dapat memanfaatkannya
hingga waktu tertentu secara cuma-cuma (gratis), bila digantikan dengan sesuatu
atau imbalannya, maka hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.
E. Dasar
Hukum ‘Ariyah
.
.
. . وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِ وَالتَقْوَى
. . .
Artinya : ”Dan tolong menolonglah kamu
dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al Maidah:2)
`¨B
#s
Ï%©!$#
ÞÚÌø)ã
©!$#
$·Êös%
$YZ|¡ym
¼çmxÿÏè»Òãsù
ÿ¼ã&s!
$]ù$yèôÊr&
ZouÏW2
4 ª!$#ur
âÙÎ6ø)t
äÝ+Áö6tur
Ïmøs9Î)ur
cqãèy_öè?
ÇËÍÎÈ
Artinya:
“siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS. Al Baqarah:2)
F. Rukun
dan Syarat ‘Ariyah
1. Rukun
‘Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun
‘ariyah hanyalah ijab dari yang memimjamkan barang, sedangkan qabul bukan
merupakan rukun ariyah. Menurut syaifiyah, dalam ariyah disyaratkan adanya
lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang
meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang
bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumruh ulama fiqih
menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu:
a. Mu’ir
(peminjam)
b. Musta’ir
(yang meminjamkan)
c. Mu’ar
(yang dipinjamkan)
d. Sighat,
yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat
‘Ariyah
ulama fiqih menyatakan beberapa syarat
ariyah diantaranya adalah:
a. Mu’ir
berakal sehat
Biasa dikatakan bahwa orang gila, dan
anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak menyaratkan sudah balig, sedangkan
ulama lainya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat
berbuat kebaikan sehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang
bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).
b. Pemegangan
barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat
kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya
hibah.
c. Barang
(musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat
dimanfaatkan, akat tidak sah.
3. Syarat
Sahnya ‘Ariyah
Untuk
sahnya ‘ariyah, ada empat yang wajib dipenuhi:
a. Pemberian
pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karenanya ‘ariyah yang
dilakukan orang yang sedang ditahan hartanya tidak sah.
b. Manfaat
dari barang yang dipinjamkan hendaklah dari milik yang meminjamkan. Artinya
sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia
boleh meminjamkannya.
c. Barang
yang dipinjamkan hendaklah ada mafaatnya, maka tidak sah meminjamkan barang
yang tidak berguna, karena sia-sia saja tujuan peminjaman itu.
d. Barang
pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak jika diambil manfaatnya.
G. Hukum
dan Sifat ‘Ariyah
1. Hukum
‘Ariyah
Dalam ‘ariyah hukumnya bisa menjadi
wajib, misalnya bagi muslim yang terpaksa harus meminjam sesuatu yang amat
dibutuhkan kepada saudara seagamanya yang tidak membutuhkannya. Diantara
hukum-hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
a. Sunnah
dengan tujuan saling tolong menolong
b. Wajib,
misalnya meminjamkan mekena untuk salat bagi orang yang membutuhkan
c. Haram,
apabila meminjamkan suatu barang untuk keperluan maksiat atau kejahatan.
2. Sifat
‘Ariyah
a. Musta’ir
harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya
kepada mu’ir juka barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut, kecuali oleh
kuli pengengkut, atau dengan taksi.
b. Musta’ir
tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya. Adapun meminjamkannya pada
orang lain, maka tidak apa-apa jika mu’ir mengizinkan.
c. Musta’ir
merawat barang pinjaman dengan baik.
d. Jika
sesorang meminjam kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta
pengembalian kebun tersebut hingga temboknya runtuh. Begitu juga orang yang
meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembangan sawah
tersebut hingga tanaman yang ada di atasnya telah dipanen, karena meninbulkan
madharat kepada sesama muslim itu haram.
e. Barang
siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunnahkan tidak meminta
penegmbaliannya kecuali setelah habis batas waktu peminjaman.
H. Jenis
‘Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung kepada jenis pinjaman,
apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat)
atau mutlaq.
1. ‘Ariyah
Mutlaq
Pinjam-meminjam barang yang dalam
akadnya tidak ada persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya
untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan
cara penggunaannya. Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad
tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut,
misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Namun demikian harus disesuaikan
dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan
tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan
kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.
2. ‘Ariyah
Muqayyad
Akad meminjamkan barang yang dibatasi
dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah
satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak
dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan
demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan
untuk memanfaatkannya.
a. Batasan
penggunaan ‘ariyah oleh diri peminjam
Jika orang yang meminjamkan membatasi
hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang
adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti menggendarai
binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh
mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.
b. Pembatasan
waktu dan tempat
Jika ‘ariyah dibatasi waktu dan tempat,
kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab
atas penambahan tersebut.
c. Pembatasan
ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat
barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus
menanggung sesuai dengan kelebihannya.
I. Wajibnya
mengembalikan ‘Ariyah
Bila peminjam telah memegang
barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban
menjaminnya. Allah berfirman:
* ¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur
OçFôJs3ym
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br&
(#qßJä3øtrB
ÉAôyèø9$$Î/
4 ¨bÎ)
©!$#
$KÏèÏR
/ä3ÝàÏèt
ÿ¾ÏmÎ/
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$JèÏÿx
#ZÅÁt/
ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar
lagi Maha melihat”. (QS. An Nisaa’:58)
Abu
Dawud dan Tirmidzi -ia menshahihkannya- meriwayatkan dari Abu Umamah
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَارِيَة
مُؤَدَّاةُ
Artinya:
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu
Dawud dan at-Turmudzi)
Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya
menjagaamanah orang dan wajibnya mengembalikan barang kepada pemiliknya dalam
keadaan selamat. Di samping itu, bolehnya dimanfaatkan adalah dalam batas yang
sesuai kebiasaan yang berlaku sehingga tidak boleh memberlakukannya meleweti
batas sampai membuatnya rusak atau memberlakukannya untuk hal yang tidak cocok
kaena pemiliknya tentu tidak mengizinkan.
J. Hukum (ketetapan) akad ariyah
1.
Secara Hakikat
‘Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya
tanpa merusak zatnya. Menurut malikiyah dan hanafiyah, hukumnya adalah manfaat
bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang
semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al- kurkhi, ulama syafiiyah dan hambali berpendapat bawa yang dimaksud ariyah adalah kebolehan untuk
mengambil manfaatnya dari suatu benda.
Dari perbedaan pendapat diatas
timbul pandangan yang berbeda yang pertama barang yang dipinjamkan boleh dipinjamkan
kepada orang lain.Dan menurut imam Malik sekalipun tidak seizin oleh yang
pemikik asal dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Tetapi ulama malikiyah
melarang kalu pemilik tidak mengizinkan. Dari perbedaan pedapat diatas, masing
masing memiliki alasan. Ulama Hanafi
alasanya adalah bawa yang memberi
pinjaman telah memberi hak penguasaan barang terhadap peminjam.
Kalau menurut Malikiyah alasanya adalah pinjam meminjam hanyalah
sebatas pengambilan manfaat maka tidak boleh dipinjamkan olagi oleh orang lain.
Seperti diibaratkan seorang tamu tidak boleh meminjamkan makanan yang
dihidangkan untuknya kepada orang lain.
Jadi kesepakatan antara kedua ulama itu adalah peminjam tidak
memiliki hak kepemilikan sepertinya gadai barang.
2. Secara Majazi
‘Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda benda yang ber
kaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain lain, yang dapat diambil
manfaatnya tanpa merusak zatnya. ‘Ariyah pada benda tersebut harus diganti
dengan benda serupa atau senilai.
K. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam
atau utang piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya
ialah sebagai berikut:
1. Sesuai dengan QS. Al
Baqarah:282, utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang
dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seoarng saksi laki-laki
dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat di atas
kertas bersegel atau bermaterai.
2. Pinjaman hendaknya
dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak, disertai dalam hati dengan
niat akan membayarnya atau mengembalikannya.
3. Pihak berpiutang
hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada [ihak berutang, bila yang
meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya
membebaskannya.
4. Pihak yang berutang
bila sudah mampu unutuk membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran
utangnya, karena lalai dalam pembayaran pinjman, berarti berbuat dzalim.
L.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang
yang meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada
yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang adalah wajib dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga
termasuk perbuatan aniaya. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang kaya yang melalaikan
kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Adapun
melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi
nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya diantara orang yang
terbaik diantara kamu ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”.
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang
yang memberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka
tambahan tersebut tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya.
Rasulullah SAW bersabda :
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil
manfaat maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba.” (H.R. Baihaqi)
M.
Tanggung Jawab Peminjam
Bila
peminjam telah memegang barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya. Demikian menurut Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan
Ishaq dalam hadist yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW bersabda :
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
0 komentar:
Posting Komentar