Sabtu, 10 Mei 2014

Ariyah dalam Islam



A.    Hadis Tentang ‘Ariyah
Abu Dawud dan at-Turmudzi meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Umamah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda dalam khutbah haji wada
الْعَارِيَة مُؤَدَّاةُ  
Artinya: “Ariyah itu (harus)  dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
B.     Arti kata
الْعَارِيَة: Ariyah
مُؤَدَّاةُ  : Dikembalikan

C.     Isi kandungan hadis
1.      Sesuatu yang dipinjam itu harus dikembalikan.

D.    Pengertian ‘Ariyah
 ‘Ariyah menurut etimologi diambil dari kata’Ara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘Ariyah berasal dari kata at-Ta’aawuru, yang berarti saling menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
1.      Menurut ulama Hanafiayah , ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.
2.      Menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah, ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat dari orang yang berhak memberi secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang diperbolehkan sedangkan bendanya masih utuh.
Jadi dapat disimpulkan ‘ariyah memberikan manfaat suatu barang, sehingga orang tersebut dapat memanfaatkannya hingga waktu tertentu secara cuma-cuma (gratis), bila digantikan dengan sesuatu atau imbalannya, maka hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.
E.     Dasar Hukum ‘Ariyah
. . . . وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِ وَالتَقْوَى . . .
Artinya : ”Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al Maidah:2)
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ  
Artinya: “siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS. Al Baqarah:2)
F.      Rukun dan Syarat ‘Ariyah
1.      Rukun ‘Ariyah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah hanyalah ijab dari yang memimjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut syaifiyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumruh ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu:
a.       Mu’ir (peminjam)
b.      Musta’ir (yang meminjamkan)
c.       Mu’ar (yang dipinjamkan)
d.      Sighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

2.      Syarat ‘Ariyah
ulama fiqih menyatakan beberapa syarat ariyah diantaranya adalah:
a.       Mu’ir berakal sehat
Biasa dikatakan bahwa orang gila, dan anak kecil  yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak menyaratkan sudah balig, sedangkan ulama lainya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).
b.      Pemegangan barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya hibah.
c.       Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akat tidak sah.
3.      Syarat Sahnya ‘Ariyah
Untuk sahnya ‘ariyah, ada empat yang wajib dipenuhi:
a.       Pemberian pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karenanya ‘ariyah yang dilakukan orang yang sedang ditahan hartanya tidak sah.
b.      Manfaat dari barang yang dipinjamkan hendaklah dari milik yang meminjamkan. Artinya sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh meminjamkannya.
c.       Barang yang dipinjamkan hendaklah ada mafaatnya, maka tidak sah meminjamkan barang yang tidak berguna, karena sia-sia saja tujuan peminjaman itu.
d.      Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak jika diambil manfaatnya.
G.    Hukum dan Sifat ‘Ariyah
1.      Hukum ‘Ariyah
Dalam ‘ariyah hukumnya bisa menjadi wajib, misalnya bagi muslim yang terpaksa harus meminjam sesuatu yang amat dibutuhkan kepada saudara seagamanya yang tidak membutuhkannya. Diantara hukum-hukum ‘ariyah adalah sebagai berikut:
a.       Sunnah dengan tujuan saling tolong menolong
b.      Wajib, misalnya meminjamkan mekena untuk salat bagi orang yang membutuhkan
c.       Haram, apabila meminjamkan suatu barang untuk keperluan maksiat atau kejahatan.
2.      Sifat ‘Ariyah
a.       Musta’ir harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir juka barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut, kecuali oleh kuli pengengkut, atau dengan taksi.
b.      Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya. Adapun meminjamkannya pada orang lain, maka tidak apa-apa jika mu’ir mengizinkan.
c.       Musta’ir merawat barang pinjaman dengan baik.
d.      Jika sesorang meminjam kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga temboknya runtuh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembangan sawah tersebut hingga tanaman yang ada di atasnya telah dipanen, karena meninbulkan madharat kepada sesama muslim itu haram.
e.       Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunnahkan tidak meminta penegmbaliannya kecuali setelah habis batas waktu peminjaman.
H.    Jenis ‘Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.
1.      ‘Ariyah Mutlaq
Pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.

2.       ‘Ariyah Muqayyad
Akad meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya.
a.       Batasan penggunaan ‘ariyah oleh diri peminjam
Jika orang yang meminjamkan membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti menggendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.
b.      Pembatasan waktu dan tempat
Jika ‘ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
c.       Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.
I.       Wajibnya mengembalikan ‘Ariyah
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya. Allah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. (QS. An Nisaa’:58)
Abu Dawud dan Tirmidzi -ia menshahihkannya-  meriwayatkan dari Abu Umamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 الْعَارِيَة مُؤَدَّاةُ  
Artinya: “Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
            Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya menjagaamanah orang dan wajibnya mengembalikan barang kepada pemiliknya dalam keadaan selamat. Di samping itu, bolehnya dimanfaatkan adalah dalam batas yang sesuai kebiasaan yang berlaku sehingga tidak boleh memberlakukannya meleweti batas sampai membuatnya rusak atau memberlakukannya untuk hal yang tidak cocok kaena pemiliknya tentu tidak mengizinkan.
J.      Hukum (ketetapan) akad ariyah
1.      Secara Hakikat
‘Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut malikiyah dan hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al- kurkhi, ulama syafiiyah dan hambali berpendapat bawa  yang dimaksud ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaatnya dari suatu benda.
            Dari perbedaan pendapat diatas timbul pandangan yang berbeda yang pertama barang yang dipinjamkan boleh dipinjamkan kepada orang lain.Dan menurut imam Malik sekalipun tidak seizin oleh yang pemikik asal dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Tetapi ulama malikiyah melarang kalu pemilik tidak mengizinkan. Dari perbedaan pedapat diatas, masing masing memiliki alasan.  Ulama Hanafi alasanya adalah  bawa yang memberi pinjaman telah memberi hak penguasaan barang terhadap peminjam.
Kalau menurut Malikiyah alasanya adalah pinjam meminjam hanyalah sebatas pengambilan manfaat maka tidak boleh dipinjamkan olagi oleh orang lain. Seperti diibaratkan seorang tamu tidak boleh meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada orang lain.
Jadi kesepakatan antara kedua ulama itu adalah peminjam tidak memiliki hak kepemilikan sepertinya gadai barang.
2.      Secara Majazi
‘Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda benda yang ber kaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain lain, yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. ‘Ariyah pada benda tersebut harus diganti dengan benda serupa atau senilai.
K.    Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya ialah sebagai berikut:
1.      Sesuai dengan QS. Al Baqarah:282, utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seoarng saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.
2.      Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak, disertai dalam hati dengan niat akan membayarnya atau mengembalikannya.
3.      Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada [ihak berutang, bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
4.      Pihak yang berutang bila sudah mampu unutuk membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya, karena lalai dalam pembayaran pinjman, berarti berbuat dzalim.

L.     Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang adalah wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat aniaya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik diantara kamu ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jika  penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang memberi utang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan tersebut tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah SAW bersabda :
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba.” (H.R. Baihaqi)
M.   Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadist yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW bersabda : “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.

0 komentar:

Posting Komentar